Infodunia-Pendidikan.blogspot.com. Pengamat pendidikan Darmaningtyas mengatakan, ada beberapa yang menjadi hambatan pendidikan di Indonesia yaitu biaya yang makin mahal, akses masyarakat miskin makin sulit, dan peran negara dalam pendanaan menurun.
"sekarang pendidikan makin mahal tapi enggak bermutu," kata Darmaningtyas dalam sebuah diskusi di Hotel Mega Matra, Matraman Jakarta, Sabtu (8/11).
Darmaningtyas menegaskan, di daerah banyak terjadi gedung rusak dan kekurangan guru. Itu juga perlu jadi perhatian pemerintah. Serta adanya hambatan di daerah karena kurangnya distribusi.
"Kurangnya distribusi seperti transportasi dan komunikasi," ujarnya.
Dia juga menolak atau tidak setuju akan adanya ujian nasional. Menurutnya lebih baik ada pemetaan yaitu dengan melihat kemampuan siswa dan kelulusannya pun ditentukan oleh guru.
"Jadi kelulusan bisa ditentukan oleh guru," ujarnya. [Merdeka.com]
Tidak mengherankan sebenarnya jika statemen di atas sering kita dengar, dan bukan hanya para pengamat yang berpendapat demikian. Masyarakat umum pun dengan mudah merasakan demikian adanya. Terkadang Pendidikan dipandang sebagai lahan bisnis yang diciptakan oleh sistem kita sendiri. Pendidikan dijadikan sumber uang bagi pihak-pihak yang seharusnya tidak berpandangan demikian. Kita sebenarnya tidak menyalahkan pihak-pihak tertentu yang mengambil keuntungan dari pihak pendidikan, seperti jasa bimbel, kursus dan semacamnya. Namun yang menjadi masalah adalah saat kesenjangan pendidikan yang diterima oleh masyarakat begitu lebar menganga antara kaum berada dengan kaum jelata.
Terkadang pendidikan dipandang sebagai formalitas demi mendapatkan selembar kertas yang disebut "ijazah". Sudah menjadi rahasia umum bahwa banyak institusi pendidikan yang dapat memberikan ijazah dengan sejumlah uang tanpa melalui proses yang benar. Hal semacam ini bahkan menjadi "tambang Emas" bagi indtitusi pendidikan "nakal". Namun justru keberadaan mereka sangat dicari-cari oleh sebagian masyarakat. Tentu ada permintaan maka akan ada yang menyediakan.
Akhirnya banyak bertebaran ijazah-ijazah yang diperoleh dengan cara nakal tersebut. Sehingga ketika dalam dunia persaingan terjadi ironi bahwa ijazah tersebut tidaksesuai dengan spesifikasi pemegangnya. Dalam dunia persaingan (yang profesional) tentu hal ini membawa efek buruk, imej negatif. Sehingga wajar bila berkesimpulan bahwa yang dibutuhkan dalam dunia pendidikan kita hanyalah uang saja namun output tidak ada jaminan apa-apa. Ijazah bukan lagi sebuah pengakuan profesional namun sekadar lembaran formal untuk menghiasi berkas atau lamaran pekerjaan.
Pendidikan semakin mahal, masyarakat kecil susah mengecapnya. Sedangkan setelah keluar banyak uang pun, jaminan mutu tidak ada. Semoga kita bisa merubah keadaan seperti ini.
Pendidikan Mahal tidak mutu |
"sekarang pendidikan makin mahal tapi enggak bermutu," kata Darmaningtyas dalam sebuah diskusi di Hotel Mega Matra, Matraman Jakarta, Sabtu (8/11).
Darmaningtyas menegaskan, di daerah banyak terjadi gedung rusak dan kekurangan guru. Itu juga perlu jadi perhatian pemerintah. Serta adanya hambatan di daerah karena kurangnya distribusi.
"Kurangnya distribusi seperti transportasi dan komunikasi," ujarnya.
Dia juga menolak atau tidak setuju akan adanya ujian nasional. Menurutnya lebih baik ada pemetaan yaitu dengan melihat kemampuan siswa dan kelulusannya pun ditentukan oleh guru.
"Jadi kelulusan bisa ditentukan oleh guru," ujarnya. [Merdeka.com]
Tidak mengherankan sebenarnya jika statemen di atas sering kita dengar, dan bukan hanya para pengamat yang berpendapat demikian. Masyarakat umum pun dengan mudah merasakan demikian adanya. Terkadang Pendidikan dipandang sebagai lahan bisnis yang diciptakan oleh sistem kita sendiri. Pendidikan dijadikan sumber uang bagi pihak-pihak yang seharusnya tidak berpandangan demikian. Kita sebenarnya tidak menyalahkan pihak-pihak tertentu yang mengambil keuntungan dari pihak pendidikan, seperti jasa bimbel, kursus dan semacamnya. Namun yang menjadi masalah adalah saat kesenjangan pendidikan yang diterima oleh masyarakat begitu lebar menganga antara kaum berada dengan kaum jelata.
Terkadang pendidikan dipandang sebagai formalitas demi mendapatkan selembar kertas yang disebut "ijazah". Sudah menjadi rahasia umum bahwa banyak institusi pendidikan yang dapat memberikan ijazah dengan sejumlah uang tanpa melalui proses yang benar. Hal semacam ini bahkan menjadi "tambang Emas" bagi indtitusi pendidikan "nakal". Namun justru keberadaan mereka sangat dicari-cari oleh sebagian masyarakat. Tentu ada permintaan maka akan ada yang menyediakan.
Akhirnya banyak bertebaran ijazah-ijazah yang diperoleh dengan cara nakal tersebut. Sehingga ketika dalam dunia persaingan terjadi ironi bahwa ijazah tersebut tidaksesuai dengan spesifikasi pemegangnya. Dalam dunia persaingan (yang profesional) tentu hal ini membawa efek buruk, imej negatif. Sehingga wajar bila berkesimpulan bahwa yang dibutuhkan dalam dunia pendidikan kita hanyalah uang saja namun output tidak ada jaminan apa-apa. Ijazah bukan lagi sebuah pengakuan profesional namun sekadar lembaran formal untuk menghiasi berkas atau lamaran pekerjaan.
Pendidikan semakin mahal, masyarakat kecil susah mengecapnya. Sedangkan setelah keluar banyak uang pun, jaminan mutu tidak ada. Semoga kita bisa merubah keadaan seperti ini.
0 Response to "Semakin Mahal Tapi Tidak Bermutu"
Posting Komentar